Selasa, 28 Maret 2017

Wedding Dress

Ini adalah hari yang mendebarkan bagi seorang gadis bernama lengkap Kim Jung In. Bagaimana tidak, ia akan menikah dengan seorang pria yang sangat dia cintai. Sejak pagi buta dia sudah bangun untuk mempersiapkan penampilan terbaiknya di acara pernikahannya nanti.
“Ibu, aku sudah tidak sabar menanti waktu itu,” ucapnya dengan senyum yang merekah. Di hadapan cermin, ia sedang didandani oleh penata rias pengantin.
Jung In terlihat sangat cantik dengan gaun putih yang membentuk tubuh langsinya. Ibunya terus memperhatikan anak perempuan satu-satunya itu. Matanya berkaca-kaca melihat anaknya yang kini sudah tumbeuh dewasa dan akan menikah beberapa jam lagi.
“Ibu kenapa? Ini hari pernikahanku, jangan menangis seperti itu. Tersenyumlah.”
“Tidak, ibu tidak menangis. Ibu hanya bahagia saja melihat anak ibu yang akan menikah. Oh, iya, ibu keluar dulu ya. Ibu akan menemui tamu di luar,” katanya. Jung In mengangguk disertai senyuman manis dari bibir tipisnya.
***

“Apa Jung In sudah selesai berdandan? Cepatlah, suruh dia segera turun,” perintah ayah Jung In pada ibunya. Ibunya langsung menaiki anak tangga untuk menemui anaknya.
Beberapa detik berlalu, ponsel ayahnya berbunyi di dalam saku celana hitamnya. Ia segera menjawab panggilan masuk itu.
“Halo?”
Entah apa yang dikatakan orang yang berada disebrang telepon sana. Spontan, ayah Jung In menjatuhkan ponselnya. Air mukanya berubah seketika saat mendengar kabar buruk yang diterimanya. Tubuhnya melemas dan terjatuh begitu saja ke lantai.
Berbarengan dengan itu, Jung In dan ibunya turun menghampiri ayahnya dengan tatapan aneh.
“Ayah... ayah ada apa? Apa terjadi sesuatu?” Jung In dan ibunya khawatir. Mereka terlihat panik. Ayahnya masih diam tak menjawab. Apa yang akan ia katakan pada anaknya.
“Jung In, ayah harap kau kuat mendengar berita ini. Ji.. Jin Woo...” Ayahnya terlihat terbata untuk memulai ucapannya.
“Ada apa dengan Jin Woo ayah? Dia baik-baik saja, kan? Katakan ayah jangan membuatku penasaran!”
Ayahnya menarik nafas dan menghembuskannya dengan berat. “Jin Woo mengalami kecelakaan saat menuju ke rumah kita. Ayah tidak tahu bagaiamana kecelakaan itu terjadi.”
Apa yang dikatakan ayahnya, membuat Jung In langsung meneteskan air mata yang mulai deras membasahi pipinya. Make-up yang menghiasi wajah mungilnya mulai memudar perlahan akibat buliran bening yang lolos dari bendungannya.
“Ayah bercanda, itu tidak mungkin ayah! Pasti itu bukan Jin Woo, ayah. Aku tidak percaya!”
Jung In keluar dari rumah mewahnya. Kedua orang tuanya sempat mencegah untuk pergi. Tapi, ia berhasil melepaskan diri. Jung In berlari untuk memastikan bahwa bukan Jin Woo yang menjadi korban kecelakaan tersebut.
Kala itu, langit senja menemani setiap langkahnya. Air mata terus berderai tanpa ampun. Ia mengusapnya kasar setiap tetesan yang jatuh seraya terus berlari tak tentu arah.
Seakaan melengkapi perasaanya, rintik-rintik hujan membasahi bumi yang dipijaknya. Ia sempat berhenti karena tak kuasa lagi untuk berlari. Nafasnya terengah-engah dicampur isakan tangis yang ia tahan dan menyesakkan dada. Hujan dan langit senja menjadi saksi kisah hidupnya hari ini.
 “Jin Woo, aku tahu itu pasti bukan kau. Akan ku pastikan itu. Kau tidak bisa meninggalkanku begitu saja. Kita akan menikah hari ini. Aku tidak ingin kau meninggalkanku disaat hari bahagia kita,” ucapnya. Jung In yakin kalau Jin Woo baik-baik saja. Dan segera menikahinya.
Gaun putih yang ia kenakan berubah menjadi cokelat kehitaman akibat jalanan yang basah terkena derasnya hujan. Tak dipedulikannya lagi tatapan orang-orang yang melihatnya saat itu.
Awan berubah menjadi abu-abu mengikis senja yang mulai menghilang perlahan. Tapi hujan masih tetap berlanjut. Mengiringi langkah seorang gadis menuju tempat yang tak pasti.
***

Wajah ayunya, kini terlihat lesu. Ditambah lagi mata sembabnya yang ia tutupi dengan kaca mata hitam besar. Seluruh keluarga berkumpul mengenakan pakaian hitam. Ya, Jin Woo benar-benar pergi meninggalkan Jung In untuk selamanya. Air mata pun tak dapat lagi mengalir dari mata bulatnya. Ia sudah pasrah atas apa yang telah terjadi.
Angan-angannya untuk dapat hidup bersama dengan Jin Woo pupus sudah. Wajah Jin Woo masih terngiang dalam ingatan. Ini sungguh menyedihkan baginya.
“Jung In anakku, ayo kita pulang ini sudah sore. Besok kau bisa kembali lagi untuk melihatnya,” ucap ibunya. Ibunya sangat sedih melihat anak semata wayangnya harus menerima ini semua.
“Sebentar lagi bu. Ibu pulang saja dulu. Aku masih ingin menemaninya di sini,” kata Jung In. Dia mengelus nisan Jin Woo dan menciuminya. Sesekali sisa-sisa air matanya menetes di nisan tersebut.
***

Jung in sedang berada di kamarnya. Ia duduk sambil memandangi gaun pernikahannya yang tergantung di dalam kamar. Melihat gaun itu, Jung In mengukir senyum dibalik rasa sedih yang masih menyelimuti. Hari itu, ia masih ingat dimana ia mengenakan gaun tersebut di tengah hujan dan berlari mencari Jin Woo.
“Jin Woo...” lirihnya. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Gadis itu tak sanggup menahan tangisnya. Jung In sangat berharap dengan hari itu. Seharusnya, ia sudah resmi menjadi istri Jin Woo. Tapi takdir berkata lain.
Jung In berjalan mendekati gaun tersebut yang tergantung dengan rapi. Manik matanya terus menatap penuh nanar. “Jin Woo, apakah kau masih ingat? Setelah kita menikah, kau berjanji mengajakku berlibur ke pulau Jeju. Tempat kita untuk berbulan madu. Kau mendengarku, kan? Aku sangat kesepian sekarang. Tidak ada yang membuatku tertawa dengan tingkah lucumu. Tidak ada yang memelukku saat aku merasa takut.”
Kemudian Jung In beralih ke laci meja riasnya. Ia membuka laci tersebut dan mengambil sebuah benda dari dalamnya. Ia membuka kotak berbentuk hati berwarna merah. Di dalamnya terdapat sepasang cincin emas putih. Ia mengambil salah satunya dan memakaikan pada jari manisnya. Ia memandangi jari tersebut.
Dia berharap Jin Woo-lah yang memakaikan ini pada jarinya, bukan gadis itu sendiri.
“Lihatlah, bahkan aku memakaikan cincin pernikahanku sendiri.” Jung In tertawa kecil. Ia sudah seperti orang gila sekarang.
Sebulan sudah kepergian Jin Woo. Dan keadaan Jung In semakin parah. Jung In menjadi gila karena kejadian itu. Ia masih belum bisa menerima semuanya. Orang tuanya tidak bisa berbuat apa-apa. Sungguh kedua orang tuanya hanya bisa berdoa untuk anaknya itu.
Kedua orang tua Jung In membawanya ke rumah sakit jiwa. Ini sangat menyakitkan. Melihat sang anak harus berakhir seperti itu. Di rumah sakit itu, Jung In tak pernah lepas dari gaun pengantinnya. Ia menggunakan gaun tersebut di rumah sakit dan tidak mau melepaskannya. Jika ada orang yang meminta untuk melepaskan gaun itu, Jung In akan memberontak dan akan menyakiti orang lain.
“Sudah ku bilang, aku tidak mau melepaskannya! Aku akan menikah dengan Jin Woo. Apa kalian tidak dengar? Hahaha!”
Seperti itulah tingkahnya, ia berjalan di lorong rumah sakit itu sambil berbicara sendiri dan tertawa tak jelas.
Ayah dan ibunya memandang dari kejauhan. Sungguh malang nasib Jung In. Mereka berharap ada seseorang yang mampu membuat hidup Jung In kembali seperti dulu.
***


Senin, 27 Maret 2017

Lantai Dua

Menatap keluar dari balik jendela yang membatasi
Ah... aku menanti kehadiranmu melintasi ruangan ini
Untuk melihat walau sekejap namun berarti
Ku berdiri di depan ruang tempat ku menatapmu dari jauh
Tak masalah bagiku, jika mataku masih bisa melihatmu
Lantai dua, tempat ku untuk memperhatikan gerak-gerikmu
Sudah lama, sejak kaki kali pertama menginjak tempat yang sama dengamu

Ada debar setiap kali kedua manik mataku menangkap sosokmu
Tak jarang mata kita saling bertemu dan beradu
Sering pula detak jantungku berpacu kala berpapasan denganmu
Menunduk malu, karena tak ada keberanian menatapmu sedekat itu
Sihir apa yang kau gunakan sampai aku tak bisa berpaling darimu?
Begitu besarkah pesonamu hingga berhasil membuatku memujamu?
Apakah ini tanda-tandanya aku menyukaimu
atau mungkin akan lebih dari ini?
Jangan katakan kalau akhirnya ada rasa selain suka
Cinta misalnya...
Cinta yang bersemi di bangku kuliah
Jika iya, aku tak kan mengelak lagi

Mungkinkah hatiku telah terpaut olehmu?
Tak terbayang jika kau adalah orangnya
Laki-laki bertubuh mungil dengan gaya khas-nya
Jika memang benar, kan ku katakan walau ragu
Ku buang rasa malu agar tersampaikan isi hatiku

Terima atau tidak aku tak peduli dengan hasilnya
Yang aku tahu, aku jatuh hati sejak saat itu juga
Sejak kau dan aku saling bicara dalam ruang yang sama
Sampai tercipta suatu kata yang ku sebut “Cinta”